Lalu kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu, dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. (QS 26:63)
Kisah mengenai terbelahnya lautan itu cukup termasyhur. Semua kitab suci di bawah tradisi Semitik (Abrahamic religions) mengisahkannya dengan rinci. Lautan itu adalah Laut Merah, dan kisah itu berawal dari
sebuah eksodus kaum Yahudi (yang dipimpin Nabi Musa) dari Mesir ke jazirah Arab. Mereka tergesa karena dikejar pasukan firaun (pharaoh bernama Ramses II). Ketika sampai di tepi Laut Merah, mereka terpojok. Keadaan mulai tegang karena pasukan firaun kian mendekat. Musa kemudian menerima wahyu itu: ia pun mengangkat tongkat lalu memukulkannya ke tanah. Dan, lautan pun terbelah dua. Di tengahnya, sebuah jalur kering terbuka lebar. Dua “dinding” laut yang mengapitnya berdiri kokoh dan stasioner. Perlahan-lahan bani Israil melewati jalan itu, hingga mencapai pantai barat Arab dengan selamat. Pasukan firaun yang tak jauh di belakang mereka juga menyusul di jalur kering itu. Ketika semua bani Israil sudah menginjakkan kaki di pantai Arab, Tuhan menutup laut itu. Firaun dan pasukannya tenggelam, terhimpit dua dinding laut.
Kisah di atas memang masyhur: Holywood berhasil mentransformasikannya ke film box office The Ten Commandments (1956). Dan, staf koperasi MIT iseng-iseng membuat sebuah T-shirt bertuliskan ini:
And Moses said: ∇·v = 0 δv/dt v·∇v = -∇P – g∇h v∇²u And the waters parted!
Yang jelas, ketika menonton film itu pada tahun 80an, atau memiliki T-shirt itu, saya sendiri tidak pernah terpikir untuk ke Laut Merah.
Tapi Tuhan memang tak bisa diduga: pada awal Februari 2014, saya akhirnya bisa bermain di tepi Laut Merah, bahkan mancing di Laut Merah! Alhamdulillah, saya dapat bekerja di KAUST, sebuah universitas riset yang reputasi internasionalnya kian mengagumkan. Hari ini (ketika tulisan ini dibuat) saya sebenarnya sudah 118 hari di KAUST. Tapi supaya catchy, maka judulnya dibikin 100 hari. Lagipula yang ditulis adalah hal-hal berkesan yang saya alami selama 100 hari pertama di KAUST.
Susahnya visa Saudi
Masuk Saudi rasanya penuh dengan cobaan. Mendapatkan visa Saudi ternyata jauh lebih susah daripada mendapatkan visa Amerika atau Schengen (uni-Eropa). Dokumen-dokumen yang diperlukan sebenarnya tidak banyak, tapi beberapa dokumen harus dilegalisasi oleh beberapa institusi negara. Misalnya, ijazah S3 harus dalam bahasa Inggris kemudian dilegalisasi oleh atase pendidikan Saudi di Tokyo, kedutaan Saudi di Tokyo, Ministry of Foreign Affairs Jepang. Untuk melewati dua proses ini (translation, legalization), setidaknya saya memerlukan 2-3 minggu. Belum lagi mengurus sertifikat kesehatan. Saya mulai mengurus visa pada bulan Oktober, dan baru mendapatkan visa pada bulan Januari. Jadi, tiga bulan diperlukan untuk mengurus visa Saudi. Ini pun sudah dibantu oleh Mas RK Aditya (postdoc) dan Ditho Ardiansyah (mahasiswa S3) dari jarak jauh dengan mengirimkan informasi persyaratan serta kontak GASC di KAUST. Kalau tidak dibantu mereka, rasanya proses akan lebih lama. Jadi, bagi siapa saja yang mengurus visa ke Saudi, khususnya KAUST, rajin-rajinlah mengontak kaustINA. Jangan gengsi dan ngurus sendiri. Modhar nanti. Nah, setelah visa didapat, rasanya syukur tidak terkira. Seperti mendapat tiket menuju surga.
Too good to be true, but it”s true!
Tapi memang benar, KAUST memang seperti surga, terutama bagi dosen, peneliti, mahasiswa dan staf. Tema-tema riset yang fundamental, menantang sekaligus aplikatif; laboratorium yang dipenuhi fasilitas canggih; suasana kolaborasi internasional dan diskusi yang terbuka; gedung dan ruang kerja dengan interior indah; perumahan yang dapat dikatakan mewah; fasilitas rekreasional dan olahraga yang bagus dan kebanyakan gratis; transportasi internal dan eksternal yang reguler dan gratis; paket remunerasi yang luar biasa. Remunerasi di sini berarti gaji, fasilitas hidup (rumah, transportasi), pendidikan, kesehatan, asuransi, keamanan, rekreasi serta paket-paket yang menjamin well-being seseorang. Paket yang luar biasa ini memang wajar diberikan kepada mereka yang akan bekerja di KAUST: siapa yang mau datang ke gurun, dan diberi tanggungjawab mendongkrak reputasi universitas yang tidak punya brand? Tapi, jerih payah KAUST soal branding memang kelihatan belakangan ini. Tinggal di KAUST akhirnya menjadi wishlist para jobhunter di bidang akademik, profesional maupun mahasiswa S1 atau S2. Tujuannya jelas satu: melakukan riset.
Riset di KAUST
Riset di KAUST dilakukan dengan terukur, diwarnai tujuan akademik-ekonomi (istilahnya “acadenomics”), kondusif, progresif. Sangat terasa sekali, bahkan sejak awal bertemu dengan profesor dan mahasiswa, bahwa publikasi ilmiah (baca: paper) adalah segalanya. Dan, papernya tidak sekedar paper: ramai orang membicarakan menerbitkan paper di Nature, yang notabene setengah mati untuk masuknya. Ini merupakan suatu ukuran dari universitas riset. Paper adalah currency peneliti. Oleh sebab itu, tidak hanya paper dalam jumlah banyak yang diperlukan untuk mendongkrak reputasi KAUST, tapi juga kualitas jurnal yang dibidiknya. Ini membuat para profesor, mahasiswa dan peneliti mencari tema yang hot, dan punya signifikansi dalam bidangnya. Ada riset yang fundamental (basic research) dan aplikasi. Yang aplikatif, biasanya hasil dari kerjasama dengan industri. Ini punya dampak ekonomi yang jelas. KAUST pada akhirnya juga ingin berkontribusi besar terhadap ekonomi Arab Saudi yang melulu bersandar pada minyak bumi. Harus ada competitive advantage yang ditampilkan oleh Saudi supaya, paling tidak, disegani di Timur Tengah (bahkan dunia) dan juga memajukan ekonominya. Riset di KAUST sangat kondusif. Buku di perpustakaan memang masih minim, tapi jurnal-jurnal online dapat diakses dan diminta dari perpustakaan. Jika ingin membeli buku masing-masing lab juga bisa membelikan. Riset di KAUST juga sangat progresif: setiap orang punya target dan motivasi yang tinggi untuk menghasilkan kerja yang berkualitas.
Thawb dan hijab di kampus
Suasana kampus KAUST mirip universitas di Amerika. Arsitekturnya persegi-persegi, warnanya pastel, rumput dan tumbuhannya hijau, lautnya biru. Warga kampusnya juga heterogen, yaitu terdiri dari 80 negara. Tingkat heterogenitasnya mungkin melebihi Perancis, Singapura, bahkan Amerika. Ini sebenarnya sangat berbeda dengan keadaan Saudi Arabia yang homogen. Tapi warna-warna Arab sangat terlihat di KAUST. Ramai orang Arab memakai pakaian tradisional mereka. Bagi saya yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Timur Tengah, melihat orang memakai thawb (baju tradisional laki-laki Arab), keffiyeh (kain kerudung lelaki), dan agal (lingkar pengikat keffiyeh) di kampus memang mencengangkan. Saya kira pakaian semacam itu hanya dikenakan dalam acara keagamaan atau resmi saja. Tapi ternyata dipakai untuk bekerja. Pegawai bank, mahasiswa dan staf kampus yang kebangsaan Arab di kampus juga sering memakai thobe. Di KAUST, hijab juga ada di mana-mana (kirain hanya di IPB atau IAIN saja yang seperti ini). Pakaian dalam hal ini adalah identitas, bukan semacam aturan. Di KAUST, pakaian orang boleh bebas, tidak seperti di Arab Saudi kebanyakan. Hal ini untuk memberikan keleluasaan bagi para peneliti dari berbagai latar belakang, agar mereka dapat bebas bekerja, tanpa terkekang aturan suatu agama.
Umroh dan haji
Bekerja di KAUST punya keuntungan religius bagi muslim. KAUST relatif dekat dengan Mekkah dan Madinah. Bekerja di KAUST sudah pasti memberikan kemudahan pergi ke Masjidil Haram (Olit bilang: rumahnya Allah) dan Masjid Nabawi. Tapi, saya masuk KAUST bukan semata ingin umroh (yang bisa dilakukan setiap minggu) atau naik haji. Alasannya sederhana: saya sangat memahami bahwa KAUST didirikan tidak untuk melayani ibadah umroh dan haji! KAUST didirikan untuk mengembalikan jaman keemasan Arab sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia. Universitas model KAUST adalah hasil distilasi antara mimpi seorang raja yang kaya raya dan gagasan para profesor dari berbagai universitas ternama dunia ketika mereka ditanya: “Jika anda diberi dana tak terbatas, universitas model apa yang akan anda dirikan?” Jawaban mereka tentu beragam. Tetapi setelah digodok, jawabannya adalah KAUST (more or less). KAUST memerlukan reputasi internasional karena ia masih balita. Ia memerlukan dosen, peneliti dan mahasiswa yang dapat menghasilkan paper, paten, atau prestasi akademik lainnya. KAUST didirikan untuk menaikkan ekonomi Arab Saudi yang saat ini hanya bersandar pada minyak dan haji. Mungkin ini hard reminder: seseorang perlu ‘meluruskan’ niatnya jika ingin datang ke KAUST. Niat itu adalah riset dan produktif di dunia akademik. Hal-hal religius yang bersifat pribadi (namun tentunya esensial bagi seorang muslim) dengan sendirinya akan mengikuti, dan insyaallah terfasilitasi.
Paguyuban
Orang Indonesia ini unik: di manapun mereka berada, mereka pasti membentuk paguyuban, sebuah komunitas bernafaskan kekeluargaan, gotong royong, yang barangkali Bhinneka Tunggal Ika. Alasannya sederhana: orang Indonesia lahir dan dibesarkan dalam suatu medium dengan koherensi sosial yang melekat; orang Indonesia suka punya teman, terutama yang sehati, punya sejarah sama, latar belakang sama, bahasa sama, pokoknya serba sama (meski sulit akhirnya disama-samain gak papa – yang penting in sync). Alasan lainnya mungkin bersifat universal: seseorang ingin latihan memposisikan diri dan mendapatkan identitas dalam sebuah komunitas. Kalau kita punya posisi kita bisa punya ruang lebih besar untuk beraktivitas. Tapi, ada lagi alasan yang lebih masuk akal: menungso kuwi sejatine ora pengen dhewean! Manusia tak ingin hidup sendiri. Oleh sebab itu, saya tidak merasa khawatir untuk kesepian ketika akan ke KAUST. Karena di KAUST sudah ada kaustINA. Sambutan teman-teman kaustINA sangat luar biasa, bahkan sebelum saya datang. Sambutan ini hangat, dan very welcoming. Bahkan ada yang mau minjemin uang segala, jaga-jaga kalau kita kehabisan uang. Luar biasa, tho! Belum lagi setiap bulan pasti ada acara makan-makan (kalau di Jepang, nomikai atau drinking party-nya serasa tiap minggu!). kaustINA terdiri dari 5 mahasiswa (single, and looking for high caliber person), 5 mahasiswa (berkeluarga), 2 postdoc (berkeluarga, termasuk saya). Karena jumlahnya kecil, maka kaustINA ini jadi semacam close-knit family. Selain itu, ada pula orang Indonesia yang bekerja di KAUST tapi tidak secara resmi terdaftar dalam web kaustINA; sebagian berprofesi sebagai guru, peneliti dan dokter. Intinya: masuk ke KAUST tidak akan kesepian (kehangatan ada di mana-mana dah!).
Musik, olahraga dan rekreasi
Sejak kecil saya dekat dengan musik, olahraga (meski tidak rajin) dan rekreasi. Di KAUST, semuanya terfasilitasi. Belum dua bulan di KAUST, kami sudah menyewa studio musik di KAUST. Peralatannya lengkap, ada drum, gitar elektrik, bas, gitar akustik, mixer, keyboard. Di student center, ada angklung dan grand piano. Karena belum pernah main angklung, maka saya mendaftar untuk main setiap minggu. Tujuannya ingin tahu bagaimana mengapresiasi alat musik yang memerlukan harmoni dan kekompakan. Angklung tidak cocok untuk orang individual. Setelah latihan beberapa minggu, tim angklung ikut tampil dalam konser musik internal di auditorium. Sambutannya luar biasa. Hal ini tidak lain adalah jerih payah conductor dan pelatih angklung bernama Burhan (mahasiswa S3 KAUST). Di KAUST, saya juga berkesempatan untuk memancing di Laut Merah. Saya terakhir mancing waktu SD, itupun di sungai atau kolam. Mancing di KAUST memang berkesan – kita di bawa selama 1 jam naik boat menuju fishing spot, kemudian mengulurkan senar dan umpan. Selama 4 jam kita di laut, dan mendapatkan ikan-ikan laut, yang akhirnya dibersihkan di supermarket (Tamimi) dan dibakar. Mantap sekali pokoknya!
Sekolah anak
Bagi yang mempunyai anak usia sekolah, kurikulum sekolah di KAUST sangat penting. Di KAUST, ada sekolah berbasis internasional bernama TKS, atau The KAUST School. Anak saya masuk grade 2 di TKS. Sebelumnya ia masih kelas 1 di SD negeri di Jepang. Bahasa pengantar sebelumnya adalah Jepang. Sedangkan di TKS, bahasa pengantarnya adalah Inggris. Tapi guru-guru di TKS sangat supportive. Mereka memberikan kursus singkat setiap hari bagi anak saya selama 1 jam supaya bisa lancar berbicara bahasa Inggris, dan membaca. Memang, beban kurikulum (atau spesifiknya, pekerjaan rumah) di TKS masih di bawah Jepang (atau mungkin Indonesia!). Anak masuk sekolah jam 8, pulang pukul 3 sore. Tidak setiap hari ada pekerjaan rumah. Sedangkan di Jepang, setiap hari ada pekerjaan rumah dan jumlahnya cukup banyak. Untuk mempersiapkan anak supaya tetap tune-in terhadap pelajaran, maka di rumah kami mengajarinya sendiri dengan memberi pelajaran tambahan. Sekolah di TKS mengedepankan observasi, komunikasi, pengertian terhadap konsep-konsep matematika dan alam. TKS tidak men-drill anak dengan keras untuk memory skill. TKS lebih menekankan pengertian setiap konsep, bagaimana mengaplikasikan dan bagaimana menjelaskan kepada orang.
Adzan dan wajah blurr di mall
Adzan adalah keseharian ketika saya kecil. Adzan menjadi barang langka di Singapura dan Jepang. Di Saudi Arabia, adzan ada di mana-mana, bahkan di mall atau airport! Toko-toko langsung tutup menjelang adzan, dan buka kembali setelah jadwal sholat selesai. Ini unik sekali, karena atribut agama menjadi keseharian. Di mall, menampilkan wajah ganteng dan cantik dilarang keras. Jadi, iklan-iklan baju di mall yang menampilkan wajah fotomodel yang aduhai biasanya diburamkan wajahnya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan tentunya.
Bensin lebih murah dari air
Hidup di negeri kaya minyak punya konsekuensi indah ini: harga bensin sangat-sangat murah. Yang oktannya 95 mungkin sekitar 0.6 – 0.8 riyal (1800 – 2400 rupiah) per liter. Murah sekali. Harganya di bawah harga air mineral yang dibandrol 2-3 riyal per liter. Sebenarnya ini lebih masuk akal: cairan untuk menggerakkan organ manusia memang selayaknya lebih mahal daripada menggerakkan organ mobil/motor.
***
Demikian kesan-kesan selama 100 hari di KAUST. No regret, tidak ada penyesalan pernah menginjakkan kaki di KAUST. I am a ship – designed to sail, not to harbor. Tapi ternyata satu lagi pelabuhan telah disinggahi: KAUST. Satu hal yang sering saya lakukan adalah mengapresiai tempat-tempat yang disinggahi – membandingkan-bandingkan cenderung berakhir pada frustrasi. Dan, yang lebih sering saya lakukan adalah ini: berdoa supaya kontrak di KAUST diperpanjang terus. Amin!