Ini sebuah artikel tentang kabar-kabar miring yang biasa kita dengar soal Saudi. Beberapa orang menganggapnya terlalu serius dan membuatnya ragu untuk mendaftarkan diri ke KAUST, termasuk Anda? Jika iya, penting kiranya untuk menyimak artikel berikut. Tulisan ini murni opini dari penulis dan disetujui beberapa teman tapi tidak bermaksud mewakili keseluruhan komunitas mahasiswa Indonesia di KAUST 🙂 Reblogged from Unity in Diversity
Terdorong oleh beberapa concern yang saya dengar akhir-akhir ini dari beberapa calon pendaftar KAUST, saya ingin berbagi pengalaman selama saya menimba ilmu di Univ Raja Abdullah ini, terutama tentang kehidupan keagamaan.
Di kampus ini, tidak ada pengaruh dari kelompok Islam manapun. Tidak ada yang mendikte kita untuk melakukan ini atau itu. Dalam hal pakaian misalnya, boro-boro disuruh pakai cadar, di dalam kampus kita bebas berpakaian apa saja, asal sopan. Standarnya sering disampaikan melalui email yaitu baju berlengan dan bawahan minimal selutut. Instruksi ini penting karena banyak sekali ekspat-ekspat non muslim di sini yang sudah terbiasa dengan gaya hidup Barat. Di luar area kampus, wanita memang diwajibkan memakai baju kurung yang menutup dari leher sampai ujung mata kaki. Yup, sering kali kita lihat di Jeddah, wanita-wanita ber baju kurung tanpa berkerudung atau berkerudung tapi sekedar diletakkan di kepala (seperti westerner kalo masuk ke masjid-masjid di Indonesia :D). Baju kurung ini banyak sekali macamnya, mulai dari yang biasa saja sampai yang sangat modis dengan hiasan bordir atau rumbai-rumbai atau pernak-pernik kaca di sana-sini. Jangan khawatir, tetep bisa sytlish kok bagi yang terbiasa bergaya.
Ada lagi yang takut dicuci otaknya oleh kelompok Islam tertentu. Hmff, boro-boro, pengalaman saya, kalau bukan saya sendiri yang aktif bertanya sana-sini ada atau tidak kelompok pengajian Islam, saya tidak akan mendapat informasi apa pun tentang itu, apalagi dipaksa-paksa ikut pengajian di tempat tertentu.
Pada akhirnya setelah bertanya sana sini, saya beberapa kali mengikuti semacam pengajian, dengan teman-teman Indonesia di KAUST (yang tentunya sangat beragam),lalu ada juga semacam kelas baca Quran dan penjelasan tafsirnya yang terbuka untuk siapa saja dan disampaikan dalam bahasa Inggris. Pengajian dengan teman-teman Indonesia, lebih sering itu sebatas sarana silaturahim yang disisipi kultum. Sedangkan kelas tafsir yang merupakan inisiatif salah seorang warga kampus ini lebih terarah namun bukan suatu kelas formal dari pihak manajemen kampus. Saya belajar banyak dari kelas ini. Lahir di Pakistan, guru saya dalam kelas ini berkuliah dan tinggal lama di US. Pengalamannya memberi warna dalam kelas kami. Cerita-ceritanya tentang kehidupannya di sana, juga interaksi dan diskusi-diskusinya dengan non-muslim. Ketika kemudian di sesi tanya jawab ada pertanyaan tentang sesuatu dimana ulama mempunyai sikap yang berbeda, dia akan menyampaikan pendapat-pendapat tersebut dan tidak memaksakan apa yang menjadi keyakinannya. Di kelas itu peserta juga beragam, ada juga yang belum berkerudung. Unity in Diversity, mungkin itu yang paling tepat untuk mengekspresikan apa yang saya rasakan dalam pengalaman saya. Kelas ini sifatnya juga bebas, kalau pun ada yang kemudian memutuskan untuk tidak datang secara rutin atau kemudian berhenti sama sekali, tidak akan ada yang komplain atau paksaan untuk ikut kembali. Sekedar sms ” kenapa kemarin tidak datang?” pun tidak ada. Saya dengar ada juga beberapa forum silaturahim muslim Indonesia dan kelompok pengajian di Jeddah, namun tak ada yang kemudian secara khusus mengajak saya mengikutinya. Mau belajar teknologi saja atau mencari tambahan pengetahuan agama di luar kampus, sepenuhnya tergantung pilihan kita sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari saya juga berinteraksi dengan teman-teman muslim dari Jordan, Libanon, Mesir, Palestin, dsb. Dalam shalat atau amalan lainnya, beberapa kali kami tidak sama, soal fiqh terutama. Namun kami tidak mempermasalahkan hal-hal tersebut. Pernah saya berdiskusi dengan seorang teman keturunan Palestin berkebangsaan Jordan tentang pergerakan. Dia bukannya tidak sadar ada kelompok-kelompok pergerakan dalam Islam, tapi dia tidak mengambil bagian di dalam kelompok mana pun. Ketika saya bercerita tentang yang pernah saya ikuti di Indonesia, dia bilang ada yang serupa seperti itu di kampusnya di Jordan tapi dia tidak menyukainya. Dia pun tidak lantas membenci saya, kami tetap berteman baik. Teman-teman saya yang notabene asli penduduk sini pun tidak pernah membicarakan pemahaman mereka kecuali jika saya secara khusus bertanya.
Memang di negara tempat KAUST berada tidak diijinkan adanya pergerakan Islam selain yang disetujui pemerintah, tapi tak lantas kami-kami dipaksa mengikuti yang mereka setujui. Banyak ekspat di negara yang sedang kita bincangkan ini, toh mereka semua juga tidak dipaksa masuk Islam.
Menulis ini bukan berarti kemudian saya membela dan menyetujui semua yang dilakukan pemerintahan ini, tapi poin saya yang paling penting adalah dengan menjadi mahasiswa KAUST, saya tidak kemudian mengikuti kelompok tertentu dalam Islam dan tidak pernah merasakan adanya ajakan ke sana, justru saya merasa wawasan saya mengenai Islam secara umum di dunia menjadi lebih luas. Bahkan tentang dua kelompok besar Islam, sunni dan syiah, saya baru menyadarinya setelah teman se-apartemen saya, seorang American non muslim di awal pertemuan kami tahun 2010 (sebelum isu Syiah belakangan ini merebak di Indonesia) mengajak saya semacam berdiskusi tentang Islam. Sungguh menakjubkan bagi saya sendiri kala itu bagaimana luasnya pengetahuannya tentang sunni dan syiah walau tidak jarang sebenarnya salah persepsi karena melihat dari praktik-praktik kaum muslim bukan dari pemahaman teks asli sumber-sumber otentik seperti Al-Quran dan Hadis.
Mengenai perilaku warga sini yang sering kita dengar di media, terutama terkait dengan TKI, saya rasa media Indo kurang mencakup semua kalangan sehingga kesannya tidak representatif. Mengutip kata seorang teman Indonesia di sini juga, “TKI tidak semuanya baik, sebagaimana majikan, tidak semuanya jahat..” . Mengenai kabar-kabar miring yang biasanya kita dengar dari jamaah haji/umroh tentang sifat orang-orang di sini, kalau dilihat lebih dalam, dengan siapa mereka para jamaah berinteraksi? mereka mayoritas hanya bertemu para penjual di pasar-pasar tempat membeli oleh-oleh yang notabene banyak dari mereka adalah pendatang, tentu citra ini belum dapat mewakili keadaan sebenarnya. Bukan saya mengklaim berita di media Indonesia ataucerita yang dibawa para jamaah itu salah semua, hanya saja saya merasa citra yang ditimbulkan masih timpang. Bukan pula saya membela warga negara ini, hanya saja saya merasa akan sangat tidak adil jika kita menarik kesimpulan dari beberapa kejadian atau desas-desus dan kemudian melakukan generalisasi. Sama lah seperti di negara mana pun, ada orang baik dan ada juga orang jahat. Menilik pengalaman saya di kampus, mahasiswa laki-laki yang asli sini, hampir tidak pernah berbincang dengan saya, menunduk jika bertemu, paling banter hanya mengucap salam, berbicara hanya jika perlu seperti dalam diskusi kelompok misalnya. Mereka sangat kompetitif, berprestasi dan terlibat aktif di Student Council (himpunan mahasiswa).
Tentang pergaulan, tergantung kita, mau pilih ‘geng’ yang mana. Saat saya masuk, mahasiswa asli Saudi hanya sekitar 15-30%, sisanya diisi mahasiswa dari Cina, Meksiko, India, Pakistan, US, dsb. Sama saja seperti di Indo, terserah kita mau ikut ‘geng’ yang sperti apa, yang lebih menjaga interaksi pria-wanita, atau ‘geng’ yang suka ngobrol dengan siapa saja setiap hari di ‘square’ (semacam taman dengan beberapa gerai penjual makanan), atau klub yang suka latihan public speaking dalam bahasa Inggris (Toastmaster), klub pemrograman, klub matematika (SIAM Student Chapter), klub lihat bintang di langit (bahasa kerennya : astronomi), ‘geng’ yang rajin ke Mekkah dan Madinah, atau mungkin ‘geng’ yang hafalan Quran, dan macam-macam ‘geng’ lainnya. Poinnya adalah komunitas di sini sangat bervariasi dan terserah kita mau memilih teman yang seperti apa, tidak ada paksaan atau kecenderungan ke arah tertentu.